Tiga
hari lagi pemilihan kepala daerah serentak 2017 segera dilaksanakan di 101
daerah. Publik kembali diuji untuk memilih kepala daerah yang dapat membawa
perubahan. Di balik berbagai pertentangan, keriuhan, dan kemeriahan, pilkada
semakin jadi wadah pembelajaran demokrasi publik.
Suhu
politik di Tanah Air kian menghangat menjelang perhelatan pilkada serentak 15
Februari mendatang di 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Pilkada serentak
hadir sebagai sarana untuk menguatkan konsolidasi demokrasi lokal di Indonesia.
Setidaknya pilkada bertujuan untuk menciptakan penyelenggaraan pemilu yang
efisien dan efektif. Derajat keterwakilan antara masyarakat dan kepala
daerahnya juga diharapkan dapat meningkat. Selain itu, diharapkan juga tercipta
pemerintahan daerah yang efektif dan efisien.
Tahun
2015 merupakan kali pertama diselenggarakannya pilkada serentak dalam cakupan
nasional. Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU), dari 269 daerah yang
menggelar pilkada serentak dua tahun lalu, terdapat 827 pasangan calon yang
bertarung atau rata-rata tiga pasangan calon di setiap daerah. Dari jumlah itu,
sebanyak 690 pasangan calon maju dari jalur partai politik dan 137 pasang calon
lainnya dari jalur perseorangan. Dibandingkan dengan Pilkada 2010, jumlah
seluruh pasangan calon yang berlaga itu jauh lebih rendah. Berdasarkan data
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pada Pilkada 2010 ada 1.083 pasangan calon
bertarung di 244 daerah dengan rata-rata 4,5 pasang calon per daerah.
Tahun 2017,
jumlah daerah yang menyelenggarakan pilkada lebih sedikit dibandingkan 2015,
hanya 101 daerah dengan jumlah pasangan calon yang berkontestasi sebanyak 310
pasangan atau rata-rata tiga pasangan calon di setiap daerah. Dari jumlah itu,
sebanyak 242 pasangan calon maju diusung partai politik dan 68 pasangan calon
dari jalur perseorangan.
Tahun ini pula
terdapat 16 wilayah dengan jumlah pasangan calon yang berlaga lebih dari enam
pasangan calon. Dengan konfigurasi jumlah calon yang berlaga di ajang pilkada
terus berubah, bagaimana publik menyikapi peristiwa pilkada serentak kedua yang
akan dilaksanakan dua hari ke depan?
Evaluasi
dan sosialisasi
Hasil
jajak pendapat Kompas yang
diselenggarakan pekan lalu menunjukkan, lebih dari separuh responden (62,8
persen) menyatakan puas dengan hasil pilkada serentak 2015. Namun, masih ada
34,3 persen responden yang menyatakan sebaliknya. Saat itu, pilkada diwarnai
pergeseran anggaran pilkada yang semula dibebankan pada APBN menjadi beban APBD
sehingga membuka konflik kepentingan calon kepala daerah petahana. Lebih jauh,
satu dari dua responden menyatakan mekanisme pilkada telah melahirkan kepala
daerah yang sesuai dengan harapan. Namun, proporsi yang menyatakan sebaliknya
pun tidak sedikit. Hampir separuh bagian responden (46,6 persen) mengakui bahwa
mekanisme pemilihan kepala daerah selama ini belum maksimal melahirkan kepala
daerah yang berkualitas. Alih-alih bekerja keras bagi perubahan wilayahnya,
beberapa kepala daerah hasil Pilkada 2015 harus terjerat kasus hukum, baik
kasus narkoba maupun korupsi, tak lama setelah memenangi kontestasi.
Bagaimana
penilaian publik terhadap penyelenggaraan pilkada
serentak 2017? Berkaca dari penyelenggaraan pilkada sebelumnya,
persiapan pilkada
serentak 2017 dinilai semakin baik oleh mayoritas publik.
Namun, publik memberi sejumlah catatan terkait dengan pelaksanaan proses
pilkada.
Masih
ada sekitar 40 persen publik yang mengaku belum mengetahui prosedur yang harus
ditempuh jika namanya tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT). Sosialisasi
yang dilakukan KPU tentang setiap pasangan calon pun dinilai belum cukup bagi
40,4 persen responden. Berkaitan dengan pengetahuan responden terhadap calon
kepala daerah, sekitar 60 persen responden cukup mengetahui profil, kapasitas,
dan program pasangan calon dari media massa. Hanya 13 persen yang mengaku tahu
banyak tentang seluk beluk pasangan calon yang berlaga di pilkada nanti.
Terkait program, terdapat 22 persen responden yang tidak mengetahui apa pun
tentang apa yang akan dikerjakan pasangan calon. Meski sosialisasi belum maksimal,
mayoritas publik (79,7 persen) akan menggunakan hak pilihnya. KPU sendiri
menargetkan partisipasi politik pada Pilkada 2017 sebesar 77,5 persen. Beberapa
faktor yang akan menjadi pertimbangan responden untuk menentukan calon kepala
daerah pilihannya adalah faktor visi misi (19,6 persen), kepribadian (14,9
persen), rekam jejak bersih dari korupsi (13,6 persen), kesamaan agama (9,6
persen), latar belakang profesi (8,3 persen), dan kinerja (6,8 persen).
Pertimbangan
rasional tampaknya menjadi pilihan utama responden untuk pilkada saat ini.
Meskipun masih ada responden yang menjadikan kesamaan agama sebagai faktor
untuk memilih kepala daerah, proporsi lebih besar menjadikan faktor-faktor
lebih rasional sebagai pertimbangan utama memilih. Terhadap calon kepala daerah
yang terindikasi korupsi pun, mayoritas responden (71,1 persen) bersikap tak
akan memilihnya.
Rawan
politik uang
Politik
uang ditengarai masih akan mendominasi pilkada kali ini. Mayoritas responden
mengamini bahwa politik uang masih mendominasi pilkada
serentak 2017. Masa tenang adalah masa yang paling rawan dengan
politik uang. Penilaian publik ini sejalan dengan Indeks Kerawanan Pilkada 2017
yang dikeluarkan Bawaslu di mana kerawanan politik uang menempati posisi
tertinggi. Politik uang disebut rawan terjadi di 7.197 tempat pemungutan suara
(TPS).
TPS rawan
politik uang dinilai ada di Provinsi Papua Barat yang mencapai 71,68 persen
dari jumlah TPS sebanyak 2.857. Kerawanan politik uang terindikasi pada
pemberian uang, barang, dan jasa secara langsung kepada pemilih. Sementara pada
wilayah dengan tipologi perdesaan dan tertinggal, suap diberikan kepada
penyelenggara pemilu.
Modus politik
uang pun kini kian beragam. Lintas Studi Demokrasi Lokal (LIDAL) menemukan
dugaan jual beli suara dengan modus melibatkan pedagang atau pemilik toko untuk
membagikan sembako kepada masyarakat yang telah mendapatkan kupon dari tim
sukses. Jual beli suara juga terjadi dengan mengerahkan saksi bayangan melalui
mobilisasi tim relawan di setiap TPS sebanyak 10-25 orang dengan imbalan
berkisar Rp 100.000-Rp 250.000 per orang.
Harapan
Pilkada
serentak yang segera digelar akan kembali menguji kemampuan publik memilih
kepala daerah secara demokratis. Salah satunya terlihat dari pilihan publik
yang lebih menitikberatkan pada pertimbangan rasional ketimbang latar belakang
primordial dari calon pemimpin daerahnya. Pilihan rasional publik itu berkaitan
dengan tugas kepala daerah yang memang harus melayani semua kelompok ketimbang
kepentingan agama atau etnis tertentu.
Hal yang patut
dicermati dari para calon kepala daerah adalah publik berharap pelaksanaan
pilkada tak hanya jujur dan adil, tetapi juga mampu menghadirkan pemimpin yang
memenuhi kepentingan publik. Kepala daerah terpilih nantinya terutama
diharapkan juga dapat membenahi layanan publik seperti kesehatan, pendidikan
(21,9 persen), mengeluarkan kebijakan pro rakyat untuk petani, buruh, pedagang
kecil, usaha kecil menengah (18,8 persen), memperbaiki infrastruktur (15,6
persen), visi misi pasangan calon ditepati (12 persen), dan memberantas korupsi
di kalangan birokrasi (11,9 persen).
Keinginan dari publik
mendapatkan kepala daerah yang melayani masyarakat tentu juga akan sangat
bergantung pada para pemilihnya. Apakah mereka akan dengan mudah tergoda oleh
iming-iming materi, tarikan emosional primordial, atau memperteguh pertimbangan
rasional
dalam menentukan pilihannya.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar