Jumat, 09 Juni 2017

Pesan Dan Saran

Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right) setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Jaminan terhadap hak ini telah dituangkan baik dalam Konstitusi (UUD 1945-Amandemen) maupun UU, yakni UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Pemilu yang lalu telah menoreh sejarah baru dalam transformasi pemerintahan di Indonesia, tahun ini jumlah partai politik terbanyak dalam sejarah pemilu Indonesia yaitu sebanyak 44 partai 38 partai nasional dan 6 partai lokal. Pemilu lalu banyak sekali kelemahan dan pelanggaran terhadap hak politik warga. Kelemahannya yaitu masalah yang bersifat substantif maupun masalah teknis. Kesalahan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu marupakan kesalahan yang paling utama, namun kesalahan itu tidak menutup kemungkinan juga dari warga Indonesia itu sendiri.
Pemilu yang sudah berlalu belum sepenuhnya mencerminkan dengan adanya asas pemilu yaitu asas luber dan judil. Asas pemilu hanya sebagian kecil saja yang sudah tercermin dan terwujud dalam pemilu Indonesia. Namun banyak sekali pelanggaran terhadap nilai – nilai asas luber dan judil. Padahal UUD 1945 telah mentukan bahwa jalannya pemilu harus dilaksanakan dengan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Saran
Jalannya pemilu haruslah sesuai dengan asas pemilu yang sudah secara jelas ditentukan oleh UUD 1945. Penyelenggara pemilu (KPU) harus menghindari kesalahan yang dapat merugikan warga negara, sehingga warga negara merasa tidak dirugikan dan hak politiknya tidak dilanggaran. Pemerintah harus menjamin hak pilih warga dan melakukan tindakan terhadap pelanggaran HAM dalam pemilu.

Kelebihan Dan Kekurangan Pilkada

A.  Kelebihan Pilkada Serentak
Keuntungan pilkada serentak antara lain menurut Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Johan mengungkapkan adanya keuntungan dalam pelaksanaan Pilkada serentak adalah
1).   Adanya Pilkada serentak maka perencanaan pembangunan lebih sinergi antara pusat dan daerah.
2).   Rakyat tidak perlu berulang kali ke bilik suara.
3).   Efisiensi biaya dan waktu.
4).   Tidak banyak tim sukses.
5).   Bila ada sengketa, untuk dibatasi waktu jika sengketa melalui pengadilan,  sehingga tahapan tidak terganggu.
6).   Penyelenggara hanya sekali atau dua kali melaksanakan Pilpres dan Pilkada pelantikan dapat dilakukan serentak oleh presiden dan atau MDN (Menteri Dalam Negeri) atau oleh Gubernur.
B.     Kekurangan Pilkada Serentak
Kelemahan pilkada serentak antara lain menurut Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Johan mengungkapkan adanya kelemahan dalam pelaksanaan Pilkada serentak adalah
1).   Adanya Pilkada serentak membuat kepemimpinan pejabat sementara dapat mencapai dua tahun sehingga kurang efektif
2).   Pilkada serentak dapat memenuhi kriteria efektif dan efisien apabila Pemilihan Gubernur dilakukan secara langsung oleh rakyat dengan satu pemilihan dua kertas suara.
3).   Jika terjadi ekses Pilkada (Kerusuhan) yang bersamaan mengancam stabilitas nasional dan penanganannya membutuhkan sumber daya yang besar termasuk dana dan gelar pasukan yang belum merata diseluruh daerah, selain itu konstrain penyelesaian sengketa Pilkada, dimana waktunya terbatas sementara jumlah sengketa banyak.
4).   Pengawasan Pilkada yang relatif sulit.
Sumber :
https://haripurwati06.blogspot.co.id/2016/05/makalah-pilkada-serentak.html

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Sumber :
http://admpublikunpad14.blogspot.co.id/2015/09/kelebihan-dan-kekurangan-pemilihan_19.html

Tahapan - tahapan Dalam Pilkada

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)
Pilkada adalah pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah di provinsi, kabupaten dan kota. Pilkada diatur dalam UU No 32 tahun 2004. Sebutan kepala daerah provinsi adalah gubernur dan wakil gubernur. Di kabupaten, bupati dan wakil bupati. Di kota, walikota dan wakil walikota. Pilkada diaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Pilkada provinsi dilaksanakan oleh KPUD Provinsi. Pilkada kabupaten/kota dilaksanakan oleh KPUDKabupaten/Kota. Tahap-tahap persiapan Pilkada:
1. pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan
    Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS);
2. pendaftaran dan penetapan pemilih;
3. pendaftaran dan penetapan pasangan calon;
4. pelaksanaan kampanye;
5. pemungutan suara;
6. penghitungan suara.

1. Jenis-Jenis Pilkada
Secara garis besar Pilkada di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 2jenis:
a. pilkada provinsi untuk memilih gubernur dan wakil gubernur;
b. pilkada kabupaten/kota untuk memilih bupati dan wakil bupati ataupun walikota dan wakil walikota.

2. Penyelenggara Pilkada
Pilkada provinsi diselenggarakan oleh KPUD provinsi. Pilkada kabupaten/kota diselenggarakan oleh KPUD kabupaten/ kota. Dalam melaksanakan tugasnya, KPUD provinsi dan KPUD kabupaten/kota dibantu oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara

Pemungutan Suara (KPPS).
a. PPK berkedudukan di kecamatan;
b. PPS berkedudukan di setiap desa/kelurahan;
c. KPPS bertugas disetiap tempat pemungutan suara (TPS

Persyaratan Calon Kepala Daerah
Apa sajakah syarat yang harus dipenuhi calon kepala daerah?
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. bekurang-kurangnya berpendidikan SLTA;
d. berusia sekurang-kurangnya 30 tahun pada saat pendaftaran;
e. sehat Jasmani dan rohani;
f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara; tidak sedang dicabut hak pilihnya

4. Pelaksanaan kampanye
Kampanye pilkada dilaksanakan selama 14 hari dan berakhir 3 hari sebelum tanggal pemungutan suara. Jadwal kampanye ditentukan oleh KPUD. Kampanye dapat dilakukan:
a. pertemuan terbatas;
b. tatap muka dan dialog;
c. penyiaran melalui radio dan televisi;
d. penyebaran bahan kampanye kepada umum;
e. debat publik/debat terbuka antar calon.

Pasangan calon wajib menyampaikan materi kampanye. Materi kampanye ini diwujudkan dalam program secara lisan maupun tertulis kepada masyarakat. Bila pasangan calon terpilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah maka program pasangan calon tersebut menjadi dokumen resmi daerah.

5. Pemungutan Suara
Pemungutan suara diselenggarakan paling lambat satu bulan sebelum masa jabatan kepala daerah berakhir. Pemungutan suara dilakukan dengan memberikan suara melalui surat suara. Surat suara berisikan nomor, foto, dan nama pasangan calon dengan cara mencoblos salah satu gambar sesuai pilihannya. Pemungutan suara dilakukan pada hari libur atau hari yang diliburkan Terdapat bantuan bagi pemilih tunanetra atau yang memiliki kelainan fisik lain.Ketua KPPS dapat menugaskan anggota KPPS untuk memberikan bantuan.Petugas tersebut wajib merahasiakan pilihan pemilih yang bersangkutan. Pemilih yang telah memberikan suara di TPS diberi tanda khusus oleh KPPS berupa tinta pada salah satu jari tangannya

6. Penghitungan Suara
Penghitungan suara di TPS dilakukan oleh KPPS setelah pemungutan suara berakhir. Penghitungan suara dihadiri oleh saksi wakil calon, panitia pengawas, pemantau, dan warga masyarakat. Penghitungan suara dilaksanakan secara terbuka sehingga semua yang hadir dapat menyaksikan. Setelah selesai penghitungan suara di TPS, KPPS membuat berita acara hasil penghitungan suara di TPS. Selanjutnya segala kelengkapan serta berita acara diserahkan kepada PPS. PPS menyerahkan ke PPK, dan PPK menyerahkan ke KPUD
Sumber :

https://pilkada2017.kpu.go.id/

Pelaksanaan/ Proses Pilkada

Tiga hari lagi pemilihan kepala daerah serentak 2017 segera dilaksanakan di 101 daerah. Publik kembali diuji untuk memilih kepala daerah yang dapat membawa perubahan. Di balik berbagai pertentangan, keriuhan, dan kemeriahan, pilkada semakin jadi wadah pembelajaran demokrasi publik.
Suhu politik di Tanah Air kian menghangat menjelang perhelatan pilkada serentak 15 Februari mendatang di 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten. Pilkada serentak hadir sebagai sarana untuk menguatkan konsolidasi demokrasi lokal di Indonesia. Setidaknya pilkada bertujuan untuk menciptakan penyelenggaraan pemilu yang efisien dan efektif. Derajat keterwakilan antara masyarakat dan kepala daerahnya juga diharapkan dapat meningkat. Selain itu, diharapkan juga tercipta pemerintahan daerah yang efektif dan efisien.
Tahun 2015 merupakan kali pertama diselenggarakannya pilkada serentak dalam cakupan nasional. Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU), dari 269 daerah yang menggelar pilkada serentak dua tahun lalu, terdapat 827 pasangan calon yang bertarung atau rata-rata tiga pasangan calon di setiap daerah. Dari jumlah itu, sebanyak 690 pasangan calon maju dari jalur partai politik dan 137 pasang calon lainnya dari jalur perseorangan. Dibandingkan dengan Pilkada 2010, jumlah seluruh pasangan calon yang berlaga itu jauh lebih rendah. Berdasarkan data Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), pada Pilkada 2010 ada 1.083 pasangan calon bertarung di 244 daerah dengan rata-rata 4,5 pasang calon per daerah.
Tahun 2017, jumlah daerah yang menyelenggarakan pilkada lebih sedikit dibandingkan 2015, hanya 101 daerah dengan jumlah pasangan calon yang berkontestasi sebanyak 310 pasangan atau rata-rata tiga pasangan calon di setiap daerah. Dari jumlah itu, sebanyak 242 pasangan calon maju diusung partai politik dan 68 pasangan calon dari jalur perseorangan.
Tahun ini pula terdapat 16 wilayah dengan jumlah pasangan calon yang berlaga lebih dari enam pasangan calon. Dengan konfigurasi jumlah calon yang berlaga di ajang pilkada terus berubah, bagaimana publik menyikapi peristiwa pilkada serentak kedua yang akan dilaksanakan dua hari ke depan?

Evaluasi dan sosialisasi
Hasil jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan pekan lalu menunjukkan, lebih dari separuh responden (62,8 persen) menyatakan puas dengan hasil pilkada serentak 2015. Namun, masih ada 34,3 persen responden yang menyatakan sebaliknya. Saat itu, pilkada diwarnai pergeseran anggaran pilkada yang semula dibebankan pada APBN menjadi beban APBD sehingga membuka konflik kepentingan calon kepala daerah petahana. Lebih jauh, satu dari dua responden menyatakan mekanisme pilkada telah melahirkan kepala daerah yang sesuai dengan harapan. Namun, proporsi yang menyatakan sebaliknya pun tidak sedikit. Hampir separuh bagian responden (46,6 persen) mengakui bahwa mekanisme pemilihan kepala daerah selama ini belum maksimal melahirkan kepala daerah yang berkualitas. Alih-alih bekerja keras bagi perubahan wilayahnya, beberapa kepala daerah hasil Pilkada 2015 harus terjerat kasus hukum, baik kasus narkoba maupun korupsi, tak lama setelah memenangi kontestasi.
Bagaimana penilaian publik terhadap penyelenggaraan pilkada serentak 2017? Berkaca dari penyelenggaraan pilkada sebelumnya, persiapan pilkada serentak 2017 dinilai semakin baik oleh mayoritas publik. Namun, publik memberi sejumlah catatan terkait dengan pelaksanaan proses pilkada.
Masih ada sekitar 40 persen publik yang mengaku belum mengetahui prosedur yang harus ditempuh jika namanya tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT). Sosialisasi yang dilakukan KPU tentang setiap pasangan calon pun dinilai belum cukup bagi 40,4 persen responden. Berkaitan dengan pengetahuan responden terhadap calon kepala daerah, sekitar 60 persen responden cukup mengetahui profil, kapasitas, dan program pasangan calon dari media massa. Hanya 13 persen yang mengaku tahu banyak tentang seluk beluk pasangan calon yang berlaga di pilkada nanti. Terkait program, terdapat 22 persen responden yang tidak mengetahui apa pun tentang apa yang akan dikerjakan pasangan calon. Meski sosialisasi belum maksimal, mayoritas publik (79,7 persen) akan menggunakan hak pilihnya. KPU sendiri menargetkan partisipasi politik pada Pilkada 2017 sebesar 77,5 persen. Beberapa faktor yang akan menjadi pertimbangan responden untuk menentukan calon kepala daerah pilihannya adalah faktor visi misi (19,6 persen), kepribadian (14,9 persen), rekam jejak bersih dari korupsi (13,6 persen), kesamaan agama (9,6 persen), latar belakang profesi (8,3 persen), dan kinerja (6,8 persen).
Pertimbangan rasional tampaknya menjadi pilihan utama responden untuk pilkada saat ini. Meskipun masih ada responden yang menjadikan kesamaan agama sebagai faktor untuk memilih kepala daerah, proporsi lebih besar menjadikan faktor-faktor lebih rasional sebagai pertimbangan utama memilih. Terhadap calon kepala daerah yang terindikasi korupsi pun, mayoritas responden (71,1 persen) bersikap tak akan memilihnya.

Rawan politik uang

Politik uang ditengarai masih akan mendominasi pilkada kali ini. Mayoritas responden mengamini bahwa politik uang masih mendominasi pilkada serentak 2017. Masa tenang adalah masa yang paling rawan dengan politik uang. Penilaian publik ini sejalan dengan Indeks Kerawanan Pilkada 2017 yang dikeluarkan Bawaslu di mana kerawanan politik uang menempati posisi tertinggi. Politik uang disebut rawan terjadi di 7.197 tempat pemungutan suara (TPS).
TPS rawan politik uang dinilai ada di Provinsi Papua Barat yang mencapai 71,68 persen dari jumlah TPS sebanyak 2.857. Kerawanan politik uang terindikasi pada pemberian uang, barang, dan jasa secara langsung kepada pemilih. Sementara pada wilayah dengan tipologi perdesaan dan tertinggal, suap diberikan kepada penyelenggara pemilu.
Modus politik uang pun kini kian beragam. Lintas Studi Demokrasi Lokal (LIDAL) menemukan dugaan jual beli suara dengan modus melibatkan pedagang atau pemilik toko untuk membagikan sembako kepada masyarakat yang telah mendapatkan kupon dari tim sukses. Jual beli suara juga terjadi dengan mengerahkan saksi bayangan melalui mobilisasi tim relawan di setiap TPS sebanyak 10-25 orang dengan imbalan berkisar Rp 100.000-Rp 250.000 per orang.
Harapan
Pilkada serentak yang segera digelar akan kembali menguji kemampuan publik memilih kepala daerah secara demokratis. Salah satunya terlihat dari pilihan publik yang lebih menitikberatkan pada pertimbangan rasional ketimbang latar belakang primordial dari calon pemimpin daerahnya. Pilihan rasional publik itu berkaitan dengan tugas kepala daerah yang memang harus melayani semua kelompok ketimbang kepentingan agama atau etnis tertentu.
Hal yang patut dicermati dari para calon kepala daerah adalah publik berharap pelaksanaan pilkada tak hanya jujur dan adil, tetapi juga mampu menghadirkan pemimpin yang memenuhi kepentingan publik. Kepala daerah terpilih nantinya terutama diharapkan juga dapat membenahi layanan publik seperti kesehatan, pendidikan (21,9 persen), mengeluarkan kebijakan pro rakyat untuk petani, buruh, pedagang kecil, usaha kecil menengah (18,8 persen), memperbaiki infrastruktur (15,6 persen), visi misi pasangan calon ditepati (12 persen), dan memberantas korupsi di kalangan birokrasi (11,9 persen).

Keinginan dari publik mendapatkan kepala daerah yang melayani masyarakat tentu juga akan sangat bergantung pada para pemilihnya. Apakah mereka akan dengan mudah tergoda oleh iming-iming materi, tarikan emosional primordial, atau memperteguh pertimbangan  rasional dalam menentukan pilihannya.

Sumber :
https://andhikafrancisco.wordpress.com/2013/04/23/makalah-tentang-pilkada/

Pilkada DKI

PILKADA DKI

1. Undang-Undang Pemilu.
Undang-undang republik indonesia nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang dengan rahmat tuhan yang maha esa presiden republik indonesia, Menimbang: a. bahwa dalam rangka mewujudkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota yang demokratis, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota; b. bahwa dalam rangka penyempurnaan penyelenggaraan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota, beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang perlu diubah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk UndangUndang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang; Mengingat . . . - 2 - Mengingat: 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 18 ayat (4), dan Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22D ayat (2), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678); Dengan Persetujuan Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan presiden republik indonesia memutuskan: menetapkan: undang-undang tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang. Pasal I . . . - 3 - Pasal I Beberapa ketentuan dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5656) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57.

POLITIK DAN STRATEGI NASIONAL

  A.    Pengertian Politik
Kata politik secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yaitu “Politeai”. “Politeai” berasal dari kata “polis” yang berarti kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yaitu negara dan “teai” yang berarti urusan. Bahasa Indonesia menerjemahkan dua kata Bahasa Inggris yang berbeda yaitu “politics” dan “policy” menjadi satu kata yang sama yaitu politik. Politics adalah suatu rangkaian asas (prinsip), keadaan, cara dan alat yang akan digunakan untuk mencapai tujuan atau cita-cita tertentu. Policy diartikan kebijakan, adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan yang dianggap dapat lebih menjamin tercapainya suatu usaha, cita-cita atau keinginan atau tujuan yang dikehendaki. Politik secara umum adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem tersebut dan melaksanakan tujuan-tujuan tersebut, meliputi Pengambilan Keputusan (decision making), mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih. Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan Kebijaksanaan-kebijaksanaan Umum (public policies) yang menyangkut pengaturan dan pembagian dari sumber-sumber dan resources yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu perlu memiliki kekuasaan (power) dan wewenang (authority), yang digunakan untuk membina kerjasama dan untuk menyelesaikan konflik yang timbul dalam proses ini. Hal itu dilakukan baik dengan cara meyakinkan (persuasif) maupun paksaan (coercion). Tanpa adanya unsur paksaan maka kebijaksanaan hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.

METODOLOGI PENELITIAN

Nama : Singgih Adi Wijaya NPM : 26415577 Kelas : 3IC02 Judul Jurnal : PERANCANGAN DAN KAJIAN EKONOMIS ALAT PENDORONG HIDROLIK U...